Langsung ke konten utama

Hari Kedua Ratus Dua Puluh Enam: Esensi Menerima

Bersyukurlah kalian yang bisa berangkat pagi meski harus bermacet-macetan di jalan atau berdesakan di stasiun KRL. Karena di sisi lain ada manusia yang sangat berharap bisa bangun pagi dan ikut merasakan hiruk pikuk aktivitas para pekerja.

Bersyukurlah kalian yang masih bisa merasakan lelahnya berkerja, dimarahi atasan, dan segala kekesalannya demi mendapatkan upah di akhir bulan. Karena di luar sana masih banyak manusia yang sangat ingin pamer status whatsapp betapa sibuknya hari ini, berapa banyak lembar yang sudah dikerjakan, dan menikmati momen dimarahi atasan.

Bersyukurlah kalian yang masih diberi tenaga dan napas untuk mengutarakan emosi, sedih, marah, bahagia, takut, dan cemas. Karena di luar sana masih ada manusia yang bingung mencari alasan untuk bisa merasakan emosi-emosi tersebut.

Sebulan, dua bulan, mungkin tidak terasa. Tapi sudah hampir setahun dan aku mulai merasakan kebingungan yang tak kunjung usai. Ada saja yang menjadi topik kebingunganku. Sayang, semuanya terasa tidak berarti. Aku paham setiap manusia punya medan perangnya sendiri, justru karena itu aku jadi merasa ciut dengan segala hal yang aku rasakan. Menurutku tidak pantas saja aku terlalu sedih, terlalu marah, atau terlalu berkecil hati ketika di luar sana banyak yang merasakan hal lebih sulit. Itu juga yang membuatku lebih memilih diam dan membiarkan Tuhan yang tahu semuanya.

Dari banyak hal yang sudah terjadi selama ini, sedikit banyak aku jadi paham kalau menjadi manusia bijak itu sangat sulit. Bersyukur, ikhlas, menerima semua jalan cerita yang sudah dituliskan Tuhan tidak semata-mata hanya terucap di lisan. Ada hati dan pikiran yang harus diarahkan agar penerimaan itu bisa mutlak sempurna. Tentu lah sulit. Aku pernah berada di fase selalu bersyukur dengan keadaan ini, toh hidupku masi terlaksana dengan sangat aman dan nyaman. Lalu ketika waktu terus berlanjut, perlahan rasa syukur itu berkembang menjadi sebuah tanya, "Benarkah ini rasa syukur yang tepat?". Karena pada kenyataannya, dibalik sikap penerimaan tersebut, masih banyak hal yang aku takutkan dan khawatirkan. Lalu semua berdampak pada kehidupan yang dipenuhi rasa iri, sedih, dan emosi negatif lain.

Jadi, apa esensi menerima yang sebenarnya? Mari kita abaikan faktor hubungan vertikal terlebih dahulu. Fokusnya bagaimana menyelesaikan perasaan kalut ini secara horizontal. Bisakah? Jika kembali merenungi cerita diri, aku sadar bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Bahkan langkah kaki kecilku pun akan bermakna bagi makhluk lain di dunia ini. Tapi kenapa aku masih saja terus menyalahkan masa lalu? Menyalahkan diri sendiri kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu. Apakah ceritanya akan berbeda kalau aku memilih yang lain? Apakah selama ini aku hidup dengan pilihan yang terus menerus salah?

Untuk hari ini, aku tidak bisa menyelesaikan tulisanku dengan sebuah solusi atau hasil dari refleksi yang menghasilkan kata-kata indah soal kehidupan. Otakku terlalu macet untuk mengurai pikiran-pikiran yang semakin kusut. Semoga besok bisa sedikit lebih baik. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kedua Ratus Dua Puluh: Cinta?

 Sudah berapa ratus purnama aku tidak berkeluh kesah soal cinta di sini? Hahaha. Mengingat umur yang sudah tidak lagi muda membuatku canggung jika bicara soal cinta. Yah.. I am at late 20s and if I still speak about shallow love, people will laugh at me. It is not the right time aja rasanya. But around a month or less, may be, suddenly I think about him again. Who is him? He is not somebody that I have ever talked about him earlier. He definitely does not ever appear in my blog but I always talk about him in twitter. So some of you (if you still read my story here), may be will know who he is. Someone who I called as "Anak Pak Rete". Mungkin karena dia laki-laki terakhir yang berhasil menyentuh sisi lain hatiku, ketika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengabaikan soal perasaan ke lawan jenis. Tapi perilakunya membuat pertahananku seketika runtuh dan hancur. Di saat yang sama, dia tiba-tiba menjauh. Entah karena aku yang sempat salah merespon chatnya, atau memang dia sadar

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me

Salahmu Sendiri

Rasanya seperti sudah terlalu lama berlari. Entah ini bisa disebut dengan berlari atau hanya jalan santai. But I tried. I tried a lot of things. But may be not that many juga sih. Banyak hal yang ujung-ujungnya diisi dengan sebuah ucapan, "salahmu sendiri sih". Mungkin aku tidak berlari sekuat yang lain, mungkin aku tidak berjuang sekeras yang lain, dan mungkin memang usahaku tidak pernah sebanding dengan yang lain. Jadi mengapa harus terus dibandingkan? Justru itu. Justru karena aku paham dengan konsep bahwa kesuksesan & kebahagiaan setiap manusia pasti selalu diliputi pengorbanan yang besar, membuatku terus menerus menekan diri sendiri. Merasa semua salah letaknya di diri ini. Tidak ada yang bisa dimaki kecuali diri sendiri. Dan perlahan semuanya terasa sesak. Untungnya masih ada beberapa tangan yang bisa diraih meski hanya sebentar. Lalu aku bisa kembali tersenyum barang sejenak dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dari semua perjalanan yang kualami, insecure menjad