Bersyukurlah kalian yang bisa berangkat pagi meski harus bermacet-macetan di jalan atau berdesakan di stasiun KRL. Karena di sisi lain ada manusia yang sangat berharap bisa bangun pagi dan ikut merasakan hiruk pikuk aktivitas para pekerja.
Bersyukurlah kalian yang masih bisa merasakan lelahnya berkerja, dimarahi atasan, dan segala kekesalannya demi mendapatkan upah di akhir bulan. Karena di luar sana masih banyak manusia yang sangat ingin pamer status whatsapp betapa sibuknya hari ini, berapa banyak lembar yang sudah dikerjakan, dan menikmati momen dimarahi atasan.
Bersyukurlah kalian yang masih diberi tenaga dan napas untuk mengutarakan emosi, sedih, marah, bahagia, takut, dan cemas. Karena di luar sana masih ada manusia yang bingung mencari alasan untuk bisa merasakan emosi-emosi tersebut.
Sebulan, dua bulan, mungkin tidak terasa. Tapi sudah hampir setahun dan aku mulai merasakan kebingungan yang tak kunjung usai. Ada saja yang menjadi topik kebingunganku. Sayang, semuanya terasa tidak berarti. Aku paham setiap manusia punya medan perangnya sendiri, justru karena itu aku jadi merasa ciut dengan segala hal yang aku rasakan. Menurutku tidak pantas saja aku terlalu sedih, terlalu marah, atau terlalu berkecil hati ketika di luar sana banyak yang merasakan hal lebih sulit. Itu juga yang membuatku lebih memilih diam dan membiarkan Tuhan yang tahu semuanya.
Dari banyak hal yang sudah terjadi selama ini, sedikit banyak aku jadi paham kalau menjadi manusia bijak itu sangat sulit. Bersyukur, ikhlas, menerima semua jalan cerita yang sudah dituliskan Tuhan tidak semata-mata hanya terucap di lisan. Ada hati dan pikiran yang harus diarahkan agar penerimaan itu bisa mutlak sempurna. Tentu lah sulit. Aku pernah berada di fase selalu bersyukur dengan keadaan ini, toh hidupku masi terlaksana dengan sangat aman dan nyaman. Lalu ketika waktu terus berlanjut, perlahan rasa syukur itu berkembang menjadi sebuah tanya, "Benarkah ini rasa syukur yang tepat?". Karena pada kenyataannya, dibalik sikap penerimaan tersebut, masih banyak hal yang aku takutkan dan khawatirkan. Lalu semua berdampak pada kehidupan yang dipenuhi rasa iri, sedih, dan emosi negatif lain.
Jadi, apa esensi menerima yang sebenarnya? Mari kita abaikan faktor hubungan vertikal terlebih dahulu. Fokusnya bagaimana menyelesaikan perasaan kalut ini secara horizontal. Bisakah? Jika kembali merenungi cerita diri, aku sadar bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Bahkan langkah kaki kecilku pun akan bermakna bagi makhluk lain di dunia ini. Tapi kenapa aku masih saja terus menyalahkan masa lalu? Menyalahkan diri sendiri kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu. Apakah ceritanya akan berbeda kalau aku memilih yang lain? Apakah selama ini aku hidup dengan pilihan yang terus menerus salah?
Untuk hari ini, aku tidak bisa menyelesaikan tulisanku dengan sebuah solusi atau hasil dari refleksi yang menghasilkan kata-kata indah soal kehidupan. Otakku terlalu macet untuk mengurai pikiran-pikiran yang semakin kusut. Semoga besok bisa sedikit lebih baik. Semoga.
Komentar
Posting Komentar