Langsung ke konten utama

Hari Kedua Ratus Lima: Berbeda Posisi

Hi! Apa kabar? Sudah dua ratus lima hari di dua ribu dua puluh tiga dan aku masih bernasip sama dengan hari pertama di tahun ini. Air mata rasanya sudah habis, bahkan perasaan ingin menangis ini tidak bisa tertuang dengan sempurna. Seperti ada yang menahan, aku tidak bisa menangis lagi. Jadi, apa yang mau diceritakan hari ini?

Satu per satu pergi. Sejatinya manusia terlahir memang untuk menjadi sendiri, toh di alam kubur juga nanti akan sendirian. Tapi ternyata menjadi sendiri di dunia itu sulit. Tidak secara harfiah sendiri sih, masih ada keluarga dan teman yang bisa dikontak. Hanya saja beberapa hari ini semua yang kucoba dikomunikasikan berhenti begitu saja. Rasa akrab yang dulu selalu ada perlahan hilang. Kita sudah berbeda frekuensi. Sad but truth.

Berkali-kali aku ada di posisi berbeda pemahaman dengan si empunya topik pembicaraan. Ketika yang lain merasakan hal yang sama, aku tidak. Aku belum bisa mengiyakan apa yang menjadi topik itu karena aku belum pernah berada di posisi yang mereka bicarakan. Kita sudah berbeda posisi. Sesederhana itu.

Tidak ada yang salah di sini, topik kalian, pun aku yang merasa tidak bisa menerima. Semua terjadi juga karena alasan yang konkret. Pada akhirnya tinggal salah satu saja yang mengalah. Mengingat sebuah hubungan tentu harus dijaga dengan memberi dan menerima. Mungkin hari ini aku memang harus menerima. Entah sampai kapan. Semoga kita tetap baik-baik saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me...

Menghitung Bintang

Seperti kembali menghitung ribuan bintang di langit. Lupa sudah berapa banyak bintang yang terhitung. Akhirnya kembali menghitung semua bintang itu dari awal. Masih sama seperti dulu, ketika mulut tak mampu berbicara, mata hanya mampu memandang, dan hati hanya terus berharap dalam diam. Ketika semua sudah terjadi dan terlanjur, mungkin tertawa hambar bisa jadi penghibur lara meski hanya sesaat.  Adakah kantung besar untuk menampung semua bintang-bintang yang sudah kuhitung? Agar aku tak perlu lelah untuk kembali menghitungnya dari awal ketika aku lupa. Karena dengan begitu, ketika ada orang bertanya, "Berapa banyak bintang yang sudah kau hitung?" Aku akan dengan yakin menjawab, "Sudah banyak." Karena kantung yang kukumpulkan juga sudah banyak, bahkan sangat banyak. Terlalu banyak sudah bintang yang kuhitung. Entah sudah berapa banyak juga aku mengulang hitungan tersebut. Sekali lagi, aku hanya butuh kantung untuk bintang-bintangku. Mungkin jika memang ada k...

Tentang Negeri Sejuta Mimpi #edisi17an

Assalamualaikum :D Dirgahayu Indonesia yang ke-69!!!! Meski sudah 69 tahun, semoga semangat kita tetap seperti layaknya pejuang '45 yaaa :) Amiin. Entah mengapa, gara-gara film Adriana yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta, aku jadi jatuh cinta sama genre novel baru. Fiction History . Sebuah genre yang menggabungkan kisah fiksi dengan kenyataan sejarah yang terjadi. Akibatnya pula, aku jadi bela-belain beli novel Adriana yang asli. Bahkan covernya pun masih yang cetakan 2010.  Pelan-pelan aku baca kisah itu. Aku coba pelajari sejarah ibu kota yang terangkum secara jelas di novel itu. Alhamdulillah...novel itu sukses membuka rasa nasionalisku. Meski tak sepenuhnya, tapi kini aku sadar ternyata nasionalisme itu sangat penting bagi pelajar sepertiku. Bahkan bagian yang paling seru dalam novel tersebut aku baca tepat saat malam tirakatan. Secara aku bukan warga yang baik, aku memilih berkeliling Jogja dan membaca novel ketimbang duduk bersila mendengarkan pidat...