Langsung ke konten utama

Tahun Baru

Entah sudah sejak kapan aku merasa pergantian tahun bukanlah sesuatu yang spesial. Ketika malam habis dan pagi menyapa, harinya tetap 24 jam, rutinitas yang masih sama saja, maka semua terasa sangat sangat biasa.

Ketika gegap gempita dan riuh kembang api menjadi pertanda harapan baru sebagian orang, doa baru bagi yang masih berjuang, aku malah merasa semua terlalu fana. Doa dan harapan dari jiwa-jiwa penuh optimisme itu suci, indah, dan menjadi lampu awal bagi mereka untuk memperjuangkan hidupnya. Sedangkan aku yang sudah terlanjur memiliki pola hidup konsisten hingga 27 tahun lamanya, justru merasa harapan dan doa sudah tidak mempan lagi. Memperjuangkan hidup yaa dengan dijalani, dinikmati manis pahitnya, bahkan kalau bisa tanpa berekspektasi. Mungkin ini efek dari aku yang awal 20an kemarin terlalu diliputi mimpi besar dan idealisme sekokoh batu karang, namun pada akhirnya tertampar realita. Pada akhirnya menjadikan pemikiran ini antipati kalau soal harapan tinggi. Atau memang karena sudah tua saja. Jadi malas dan lebih cepat menyerah ketimbang berjuang lebih keras seperti saat muda.

Kalau membicarakan mimpi, cita-cita, dan harapan tentu saja aku masih punya. Besar sekali malah. Bahkan sepertinya terlalu halu kalau kata generasi sekarang. Semakin dipikirkan malah jadinya tidak bergerak dan pada akhirnya itulah yang membuat idealismeku selalu kalah dengan realita. Tak dipungkiri bahwa 50% realita yang tidak sesuai dengan idealisme atau apa yang diekspektasikan berasal dari diri kita sendiri. Yes. I agree. Karena kalau berefleksi aku juga sadar bahwa rasa malas, overthinking, dan ketakutan dengan dunia membuatku lebih memilih untuk berjalan lambat. Kemudian aku akan mencari pembenaran-pembenaran dari kata-kata bijak orang. Padahal hanya agar merasa tenang bahwa yang aku lakukan tidak salah haha. Bodoh.

Tahun 2023 ini aku jadi penasaran, apakah diriku yang semakin tua ini bisa mewujudkan mimpinya? Yaaa even it is just a little dream. Minimal bisa memberi hadiah Ibu dan Bapak alat ibadah dengan uang sendiri. Hanya sesederhana itu. Selebihnya aku takut untuk berharap apalagi membayangkan sesuatu yang besar. Mari lihat kembali ke paragraf dua, "Jangan berekspektasi." 


-drs-

1 Januari 2023




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kedua Ratus Dua Puluh: Cinta?

 Sudah berapa ratus purnama aku tidak berkeluh kesah soal cinta di sini? Hahaha. Mengingat umur yang sudah tidak lagi muda membuatku canggung jika bicara soal cinta. Yah.. I am at late 20s and if I still speak about shallow love, people will laugh at me. It is not the right time aja rasanya. But around a month or less, may be, suddenly I think about him again. Who is him? He is not somebody that I have ever talked about him earlier. He definitely does not ever appear in my blog but I always talk about him in twitter. So some of you (if you still read my story here), may be will know who he is. Someone who I called as "Anak Pak Rete". Mungkin karena dia laki-laki terakhir yang berhasil menyentuh sisi lain hatiku, ketika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengabaikan soal perasaan ke lawan jenis. Tapi perilakunya membuat pertahananku seketika runtuh dan hancur. Di saat yang sama, dia tiba-tiba menjauh. Entah karena aku yang sempat salah merespon chatnya, atau memang dia sadar

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me

Salahmu Sendiri

Rasanya seperti sudah terlalu lama berlari. Entah ini bisa disebut dengan berlari atau hanya jalan santai. But I tried. I tried a lot of things. But may be not that many juga sih. Banyak hal yang ujung-ujungnya diisi dengan sebuah ucapan, "salahmu sendiri sih". Mungkin aku tidak berlari sekuat yang lain, mungkin aku tidak berjuang sekeras yang lain, dan mungkin memang usahaku tidak pernah sebanding dengan yang lain. Jadi mengapa harus terus dibandingkan? Justru itu. Justru karena aku paham dengan konsep bahwa kesuksesan & kebahagiaan setiap manusia pasti selalu diliputi pengorbanan yang besar, membuatku terus menerus menekan diri sendiri. Merasa semua salah letaknya di diri ini. Tidak ada yang bisa dimaki kecuali diri sendiri. Dan perlahan semuanya terasa sesak. Untungnya masih ada beberapa tangan yang bisa diraih meski hanya sebentar. Lalu aku bisa kembali tersenyum barang sejenak dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dari semua perjalanan yang kualami, insecure menjad