"I think, the last time I became number one was in Senior High School. I could get number one, everybody adored my achievement, but I also lost many things. Probably... lol."
08.47 WIB.
Aku sudah menyelesaikan tahap pertama Mid Exam dari mata kuliah Business Decision. Tatapanku masih lurus ke nilai yang kuperoleh. "Yaa not bad lah. Cuma salah 3 ini." Lalu beberapa saat kemudian Pak Dosen tak sengaja men-share screen laptonya dan menunjukkan beberapa hasil yang sudah terkumpul. "Waw.. aku kalah lagi." Padahal hasilku masih lebih baik ketimbang yang lain, tapi masih saja aku malah terpaku dengan hasil orang-orang di atasku. Terlebih jika aku mengingat bahwa hampir tidak ada libur bagiku. Iya, aku sadar otakku tidak memiliki performa yang sama seperti sedia kala. Makanya aku juga belajar setiap weekend, tidak ada libur, tidak ada leha-leha bagiku. Setiap hari terasa diburu, terlalu banyak yang menunggu, hingga aku selalu kehabisan waktu. Rasanya lelah, tapi mau bagaimana lagi. Untuk beberapa saat aku lupa, aku lupa kata-kata Sungjin untuk tidak membandingkan dirimu dan usahamu dengan orang lain.
12. lebih sekian WIB.
Aku sudah merasa puas dengan tahap ujian sisanya. Segera kubaringkan diri dan memandang langit-langit kamarku. Seperti biasa, pikiranku kembali berputar ke masa lalu, masa kini, hingga membayangkan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Lalu salah satunya menarik perhatianku, ketika aku sadar bahwa aku pernah merasakan masa keemasan dulu. Masa di mana aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku adalah anak yang pintar di bidang akademik, nilai tertinggi menjadi makanan sehari-hari, pujian guru matematika, kimia, dan semua yang menggema. Aku pernah merasakannya dulu. Dan tanpa sadar menjadi angkuh. "I could get number one but also lost many things."
Kalau dipikir lagi, aku memang mendapatkan atensi yang selalu kuinginkan, tapi tidak dengan kenangan indahnya. Yaa dinalar saja, ketika anak-anak lain bisa suporteran, touring ke pantai, dan berhaha hihi selepas pulang sekolah, yang kulakukan justru les kesana kemari. Dari bahasa Inggris, bimbel seminggu tiga kali, dan masih harus belajar sendiri di rumah. Sampai akhirnya aku lelah dan memilih untuk sedikit mengabaikan rutinitasku tepat di kelas 12. Gila kan? Iyaa haha. Ketika semua anak mulai fokus untuk UNAS dan SBMPTN, aku malah bermain-main. Suporteran, bolos les, jalan-jalan, dan tidak peduli dengan jam ke nol karena selalu terlambat. Hasilnya? Tentu saja sesuai dengan apa yang kuusahan. Nilai turun diikuti beberapa kali remidi. Lalu plot twist paling serunya, ketika anak-anak lain yang jauh di bawahku, yang selalu berhaha-hihi bisa lolos jalur undangan ke kampus impianku. Memang Tuhan suka bercanda. Mati. Pikiranku mulai padam.
Hal yang mungkin sedikit menjadi trauma, karena dari situ aku sadar bahwa aku bukanlah anak cerdas seperti yang dielu-elukan mereka. Aku bisa karena rajin. Aku hanya harus menggelontorkan tenaga lebih untuk mencapai apa yang kuinginkan. Kalau usahanya kurang, yaa tentu saja hasilnya tidak akan tercapai. Aku mulai yakin bahwa sebenarnya kapasitas otakku BIASA saja. Sedikit banyak aku juga menyesal, kenapa tidak kulakukan apa yang teman-teman lain lakukan kala itu. Kenapa aku tidak bermain-main saja di saat yang lain juga bermain? Kenapa aku tidak menjadi anak yang biasa saja? Sedih. Seperti melompati fase-fase penting di masa SMA. Yowis. Sudah berlalu. Toh paling tidak aku jadi sadar akan kapasitas diri. It was not bad at all.
Hanya saja untuk kali ini aku rindu. Rindu jadi yang pertama dan bisa dapat atensi. Rasa-rasanya sekarang performaku merosot jauh. Mau jadi seperti dulu harus kerja ekstra keras. Berkali-kali lipat sampai rasanya mau gila. Ujung-ujungnya aku hanya bisa menenangkan diri sendiri dengan mengingat petuah-petuah bias. Termasuk petuah Sungjin tadi, "Gak usah bandingin dirimu sama orang lain. Bandingin dirimu sekarang sama dirimu di masa lalu." Ada juga petuah sahabat yang membuatku selalu berakhir dengan sebuah helaan yaudah because "Life is never ending pain." Jadi yaudah aja. Selama kamu hidup pasti isinya ujian, tantangan, dan halangan. Kalau mau gak ada masalah yaa mati. Maka semua berhenti. Dan saatnya mengakhiri curhatan kali ini dengan kalimat penutup....
Kalau hidup adalah kesakitan yang tak pernah berakhir, maka nikmatilah tiap kesakitannya. Kelak kau akan tersadar, bahwa sebenarnya kesakitan pada level terendah itu adalah kebahagianmu.
Komentar
Posting Komentar