Langsung ke konten utama

Finding Me: Keresahan (4)

"Gak mungkin ada manusia yang baik-baik saja. Karena mereka pasti sedang berjuang dengan kisahnya sendiri. Orang-orang pintar dengan ambisinya, orang-orang kaya dengan kekuasaannya, dan orang-orang miskin demi isi perutnya. So it is relating to the previous story, when I clearly remembered what Sungjin said. 'It will be better to compare ourselves with our old side rather with other people.' "

Bener sih, karena kodratnya rumput tetangga selalu lebih hijau. Semakin kamu melihat kehidupan manusia lain, semakin kamu akan melupakan dirimu. Hanya saja, tentu manusiawi juga ketika kamu beberapa kali melihat orang lain sebagai patokan. Mau ratusan kali aku ingat kata-kata di atas, sebanyak itu pula ada bagian dari otakku yang akan berusaha melawannya. Yaa good side versus bad side sih, semua orang juga punya. Ujung-ujungnya jadi resah sendiri. Jadi bertanya-tanya, "Apakah semua yang aku lakukan sudah benar?"

Sepanjang aku hidup di dunia, kata 'Beruntung' menjadi hal yang sangat-sangat tabu. Keberuntungan? Mungkin bisa dihitung dengan jari, atau bahkan sebenarnya hanya kamuflase agar terasa beruntung? Entahlah. Kalau ada gambaran sederhana, mungkin seperti ini jadinya...


Jelek ya? Iyaa.. lagi mager banget gambar juga wahaha. Intinya, sebelum ada di fase 2 (kebahagiaan), hampir tidak mungkin terjadi tanpa adanya fase 1 (kesulitan). Lalu setelah fase 2 berlalu, pasti akan kembali ke fase 1 tanpa hambatan (garis 3) dan terjadi begitu terus. Mirip seperti kalimat klise para boomer, "Hidup itu bak roda yang berputar."

Dua puluh tahun lebih aku hidup, dengan fase yang mirip, namun ritmenya berbeda. Terkadang butuh waktu lama untuk berada dalam tahun-tahun penuh kesedihan, tapi beberapa kali hanya sekejap saja sampai kebahagiaan itu menghampiri. Lalu akan berputar lagi seperti itu. Terus. Sekarang apa masalahnya?

Masalahnya sekarang aku jadi resah, setiap aku berada di fase bahagia, ada bayang-bayang kesedihan yang menunggu di ujung sana. Sebaliknya, saat berada dalam balutan kesedihan, aku tahu pasti kebahagiaan juga sudah menunggu, sehingga aku harus mengabaikan kesedihan ini secepat mungkin agar kebahagiaan itu bisa segera kugapai. Lelah. Sedikit banyak aku lelah menjadi manusia. Kadang hanya ingin tertawa tanpa ada bayangan gelap di depan, tapi tak bisa. Bawaan hidup yang siklusnya selalu begitu kali yaa.

Menjadi seorang anak dengan tingkat overthinking di atas rata-rata, membuatku selalu khawatir. Selalu berusaha mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari. Tapi di hari H, yang terjadi jauh dari yang dipersiapkan. Tuhan memang suka bercanda denganku haha. Aku berekpektasi A, Dia selalu memberiku X, Y, atau Z. Jauuuuh. Kadang aku hanya bisa tertawa dan menghela.

Kali ini ada beberapa hal yang mulai kusadari. Tuhan memang suka bercanda, tapi untuk membuatku bergantung pada-Nya. Pernah dengar dakwah, "Tuhan lebih tau apa yang terbaik buatmu. Bagimu baik tapi bagi Tuhan belum tentu. Maka percaya saja." Cukup sering aku mentidak apa-apakan kehidupan dengan kalimat itu. Paling tidak dari situ pikiranku sedikit terbuka, jika saja Tuhan sering memberikanku kemudahan dalam berbagai hal, apakah aku masih menjadi manusia yang akan bergantung pada-Nya? Masihkah aku sering bermunajat di hadapan-Nya? Memohon dan meminta di segala kesulitan? Belum tentu. Tuhan memang suka bercanda dalam cerita hidupku, tapi itu untuk membuatku tetap berada di sisi-Nya. Siapa yang sangka kan?

Malam ini keresahanku kembali kuakhiri dengan haha hehe saja. Tak akan ada yang berubah. Aku akan kembali dengan segala kesulitanku demi mencapai kebahagiaanku kelak. Kadang tidak perlu jauh-jauh memikirkan nasib dua atau tiga tahun lagi. Bertahan saja untuk hari esok. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang akan dilakukan Tuhan padaku esok, untuk apa memikirkan nasib yang masih jauh di depan. Kesimpulan malam ini, "Bahagia secukupnya, menangis seperlunya. Biarkan Tuhan yang menetukan sisanya."




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me...

Menghitung Bintang

Seperti kembali menghitung ribuan bintang di langit. Lupa sudah berapa banyak bintang yang terhitung. Akhirnya kembali menghitung semua bintang itu dari awal. Masih sama seperti dulu, ketika mulut tak mampu berbicara, mata hanya mampu memandang, dan hati hanya terus berharap dalam diam. Ketika semua sudah terjadi dan terlanjur, mungkin tertawa hambar bisa jadi penghibur lara meski hanya sesaat.  Adakah kantung besar untuk menampung semua bintang-bintang yang sudah kuhitung? Agar aku tak perlu lelah untuk kembali menghitungnya dari awal ketika aku lupa. Karena dengan begitu, ketika ada orang bertanya, "Berapa banyak bintang yang sudah kau hitung?" Aku akan dengan yakin menjawab, "Sudah banyak." Karena kantung yang kukumpulkan juga sudah banyak, bahkan sangat banyak. Terlalu banyak sudah bintang yang kuhitung. Entah sudah berapa banyak juga aku mengulang hitungan tersebut. Sekali lagi, aku hanya butuh kantung untuk bintang-bintangku. Mungkin jika memang ada k...

Tentang Negeri Sejuta Mimpi #edisi17an

Assalamualaikum :D Dirgahayu Indonesia yang ke-69!!!! Meski sudah 69 tahun, semoga semangat kita tetap seperti layaknya pejuang '45 yaaa :) Amiin. Entah mengapa, gara-gara film Adriana yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta, aku jadi jatuh cinta sama genre novel baru. Fiction History . Sebuah genre yang menggabungkan kisah fiksi dengan kenyataan sejarah yang terjadi. Akibatnya pula, aku jadi bela-belain beli novel Adriana yang asli. Bahkan covernya pun masih yang cetakan 2010.  Pelan-pelan aku baca kisah itu. Aku coba pelajari sejarah ibu kota yang terangkum secara jelas di novel itu. Alhamdulillah...novel itu sukses membuka rasa nasionalisku. Meski tak sepenuhnya, tapi kini aku sadar ternyata nasionalisme itu sangat penting bagi pelajar sepertiku. Bahkan bagian yang paling seru dalam novel tersebut aku baca tepat saat malam tirakatan. Secara aku bukan warga yang baik, aku memilih berkeliling Jogja dan membaca novel ketimbang duduk bersila mendengarkan pidat...