Langsung ke konten utama

Finding Me: Media Bercerita pada Dunia (2)

"Blue!"

"Apaan ngab?"

"Gak ada gitu yang penasaran sama kamu?"

"Lah? Yang baca blog lu aja kagak ada."

"Oiyaa haha. Yaa tapi mau gitu ngenalin siapa itu Blue. Masa dari dua part kemaren aku manggil Bla Blue Bla Blue tapi pada gak tau kamu siapa."

"Seterah lu dah."

"Terserah. Wahaha. Jadi dimulai dari mana yaaa?"

"Kalo gua gak respon berarti gua tidur. Bye."

"😂😂 part kali ini minus si Blue"

-----

Ada kalanya, ketika aku sama sekali tidak bisa bercerita pada manusia. Lalu harus kukemanakan semua luapan emosi yang ada di dada? Jawabannya sederhana. Media. 

Kalau dipikirkan kembali, media yang bisa menghubungkan ke seluruh dunia tentu menjadi wadah yang cukup beresiko untuk bercerita. Tepat hari ini, sudah kedua kalinya aku terkena masalah terkait bercerita di media. Sebenarnya ini sepenuhnya salahku juga. Perkara menyindir salah satu pihak yang mungkin memang ada benarnya, tapi bisa menjadi topik yang cukup sensitif bagi mereka. Wajar jika yang tersinggung akan melawan. Sudah kodratnya manusia begitu. Tak mau di salahkan atau dituduh yang mereka rasa tak benar. Aku juga. Masih keukeuh kalau yang kutuliskan benar. Haha. Keras kepalaku kembali mendominasi kali ini. 

Hingga akhirnya kuputuskan untuk menonaktifkan media bercerita yang beberapa minggu ini menjadi saranaku untuk berkeluh-kesah tentang perkuliahan. Mediaku untuk melepaskan penat akibat tugas yang tak kunjung habis, atau sekedar berceloteh perihal sakit hati lantaran terlalu introvert dalam kelompok diskusi. Sedihnya, sepanjang aku curhat perkara kehidupan, hanya beberapa yang menyahut. Satu atau dua pengikut saja paling banyak. Namun, Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang-orang kurang kerjaan untuk menemukan tulisanku terkait "ketidaksukaan" akan sesuatu. Pada akhirnya aku yang terkena imbasnya, lagi.

Masih menjadi sebuah luka, ketika kala itu, selepas sholat Idul Fitri, media berceritaku terkena serangan fajar. Halnya juga cukup sederhana, lantaran aku tidak setuju dengan pendapat orang kebanyakan. Lalu seseorang yang sama sekali bukan pengikutku menemukan kata-kataku, entah dari mana. Lalu mulai menyebarkannya dan berakhir dengan puluhan (?) pengguna ikut menghujatku. Padahal aku menuliskan banyak hal untuk menunjukkan sikap netralku, tapi yang dibaca hanya satu postingan bernada berat sebelah. Haaaah. Sekali lagi. Manusia. Makhluk kompleks dengan semua keragaman sifatnya. Lagi, Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang-orang kurang kerjaan untuk menemukan kesalahanku. 

Sebenarnya kalau aku berefleksi, apa yang Tuhan lakukan memang benar adanya. Beberapa kali aku bercerita lewat media yang nadanya cenderung kasar, merasa paling benar, atau menjadi juri atas kehidupan orang lain. Pada kenyataannya, aku sendiri benci bila diperlakukan demikian. Tuhan selalu menyadarkanku di waktu yang sangat cepat, tanpa peringatan. Berkali-kali selalu seperti itu. Mungkin Dia terlalu sayang padaku. Ingin aku fokus saja ibadah, tidak memikirkan dunia banyak-banyak. Hanya saja setan terkadang masih bercokol di sekitar. Aku beribadah, tapi juga melakukan dosa-dosa kecil yang lama-lama akan menumpuk. Tuhan takut trial balance-ku di akhirat nanti akan berlebih di bagian kredit (dosa).

Oppsie.. aku malah lupa mau menjelaskan siapa itu Blue. Lanjut saja dulu yaa. Sekarang yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah media. Kenapa aku harus bercerita pada media? Padahal banyak orang-orang di sekitarku yang siap menjadi penopang keluh kesahmu. Terbukti dengan teman-temanmu yang ramai mendengar kisahmu di grup chat. Mungkinkah ini sebuah efek? Efek karena perundungan yang aku rasakan ketika sekolah menengah pertama. Ketika tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan kisahku. Termasuk keluargaku. Akhirnya aku berlari ke warnet dekat rumah, bercerita lewat media. Berharap bisa meluapkan semuanya. Dan itu berhasil walau sedikit. Kebiasaan. Bercerita lewat media menjadi kebiasaanku sejak dulu. Mungkin saat ini sudah menjadi watakku. Terkadang aku lebih suka bercerita pada media, tidak perlu jawaban, hanya sekedar bercerita. Dianggap angin lalu seperti dulu. Dan inilah kawan lamaku, Blue. Sempat berganti nama beberapa kali, namun kali ini berakhir dengan nama Blue. Bluew95, berasal dari Blue Whale 95. Blue Whale atau paus biru, representasi diriku yang paling dalam dan tersembunyi. 95 tak lebih hanya sekedar tahun kelahiran. 

Blue, dia lah mediaku bercerita pada dunia, selain si burung biru yang selalu jadi sumber masalah. Perkenalkan si Blue, yang mungkin dalam beberapa postingan ke depan akan terus muncul. Selamat datang ke duniaku dan Blue~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kedua Ratus Dua Puluh: Cinta?

 Sudah berapa ratus purnama aku tidak berkeluh kesah soal cinta di sini? Hahaha. Mengingat umur yang sudah tidak lagi muda membuatku canggung jika bicara soal cinta. Yah.. I am at late 20s and if I still speak about shallow love, people will laugh at me. It is not the right time aja rasanya. But around a month or less, may be, suddenly I think about him again. Who is him? He is not somebody that I have ever talked about him earlier. He definitely does not ever appear in my blog but I always talk about him in twitter. So some of you (if you still read my story here), may be will know who he is. Someone who I called as "Anak Pak Rete". Mungkin karena dia laki-laki terakhir yang berhasil menyentuh sisi lain hatiku, ketika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengabaikan soal perasaan ke lawan jenis. Tapi perilakunya membuat pertahananku seketika runtuh dan hancur. Di saat yang sama, dia tiba-tiba menjauh. Entah karena aku yang sempat salah merespon chatnya, atau memang dia sadar

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me

Salahmu Sendiri

Rasanya seperti sudah terlalu lama berlari. Entah ini bisa disebut dengan berlari atau hanya jalan santai. But I tried. I tried a lot of things. But may be not that many juga sih. Banyak hal yang ujung-ujungnya diisi dengan sebuah ucapan, "salahmu sendiri sih". Mungkin aku tidak berlari sekuat yang lain, mungkin aku tidak berjuang sekeras yang lain, dan mungkin memang usahaku tidak pernah sebanding dengan yang lain. Jadi mengapa harus terus dibandingkan? Justru itu. Justru karena aku paham dengan konsep bahwa kesuksesan & kebahagiaan setiap manusia pasti selalu diliputi pengorbanan yang besar, membuatku terus menerus menekan diri sendiri. Merasa semua salah letaknya di diri ini. Tidak ada yang bisa dimaki kecuali diri sendiri. Dan perlahan semuanya terasa sesak. Untungnya masih ada beberapa tangan yang bisa diraih meski hanya sebentar. Lalu aku bisa kembali tersenyum barang sejenak dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dari semua perjalanan yang kualami, insecure menjad