Jadi.. entah dari mana aku harus memulai. Ketika beberapa minggu belakangan hari-hariku terus diisi dengan tangis dan kesedihan yang entah bersumber dari mana dan bagaimana. Ketika setiap hari dan waktu yang aku jalani terasa sangat berarti, sedihku berujung air mata dan begitu pula senangku. Senang yang berubah jadi air mata karena aku tak ingin kehilangan momen itu. Saat semua menjadi sangat cepat berlalu padahal aku ingin waktu melambat barang setengah detik saja. Agar bisa kunikmati lebih lekat, lebih dalam. Lebih dan lebih lebih lainnya yang aku inginkan.
Tapi Tuhan tidak ingin begitu. Mungkin jika terjadi maka aku akan terlena. Terbuai dengan momenku tanpa mau melaju ke sesi kehidupan selanjutnya. Tuhan tahu mana yang paling indah buatku. Maka harapan konyol macam memperlambat waktu hanyalah omong kosong belaka. Aku hanya bisa merekamnya di dalam otak. Memutarnya ketika perlu namun tetap saja ada partikel kecil yang terlupa. Ada detail kecil yang terlewat karena terlalu banyak yang harus kuingat. Dan dengan begitulah, Tuhan menyadarkanku bahwa aku harus terus melaju.
Tiba-tiba kuteringat akan sebuah permainan yang pernah kumainkan bersama
kakakku. Permainan mengikuti jejak yang kami ciptakan sendiri segala
aturannya. Kakakku meletakkan kerikil-kerikil kecil sebagai jejak di
sepanjang jalan dan selang beberapa waktu aku harus menemukannya dengan
mengikuti jejak tersebut. Entah karena apa, aku merasa bahwa jejak itu
terlalu berharga untuk ditinggalkan. Kugenggam plastik besar dari dapur
dan mengikuti jejak tersebut sembari memunguti kerikil-kerikil yang
kakakku tinggalkan. Baru setengah jalan, tubuh kecilku sudah kewalahan
mengangkat plastik yang dipenuhi kerikil-kerikil tersebut. Lalu raga
terdiam dan melihat plastik yang sudah terisi penuh. "Apa yang harus
kulakukan?" Plastik ini sudah tak mampu mengisi kerikil-kerikil itu,
tapi aku juga tak ingin beranjak tanpa membawa sisa kerikil yang ada.
Dan hari ini.... kejadian itu terulang. Aku kembali terdiam, plastikku
sudah penuh dengan kerikil dan aku tidak ingin ada kerikil lain yang
tercecer di jalan ini.
Entah bagaimana setiap aku mulai selangkah maju, selalu ada kerikil kecil yang berserakan. Aku tak ingin jalanan ini menjadi penghambat bagi orang lain, maka kubersihkan kerikil itu perlahan. Tapi mengapa tak kunjung selesai? Kerikil yang sudah kusingkirkan mampu menyelamatkan orang lain. Tapi aku tidak. Selesai membersihkannya, mereka melewatiku begitu saja. Sangat kencang hingga kerikil-kerikil yang sudah kusingkirkan kembali ke tengah jalan. Aku pun kembali membersihkannya lagi seperti orang bodoh.
Pada awalnya aku merasa terbodohi dengan kerikil-kerikil itu, tapi lama-lama aku mulai terbiasa. Masa bodoh dengan mereka yang berlalu lalang dan mengembalikan kerikil-kerikil itu ke jalan. Tetap dengan semangat yang sama kubersihkan lagi jalan itu. Hingga sampai pada suatu masa di mana raga ini terlanjur lelah. Lelah membersihkan jalan itu dan tidak sanggup lagi melangkah. Bingung harus kembali atau tetap maju dengan kemasabodohan yang sudah terlanjur terpatri di kepala. Lalu yang terjadi hanyalah aku yang terdiam. Diam di jalan yang sama, tidak bisa mundur namun tidak ingin maju. Ingin seperti ini saja entah sampai kapan.
Komentar
Posting Komentar