Langsung ke konten utama

Salam Terakhirnya

Malam ini hujan masih turun dengan derasnya. Prakiraan cuaca juga mengatakan bahwa bulan ini puncak hujan di Pulau Jawa.
Hujan - Lagu - Lalu semua memori itu terkuak begitu saja.

Entah hari apa dan jam berapa kala itu, masih teringiang jelas ketika aku melihatnya untuk terakhir kalinya. Mengucap salam perpisahan dari jauh tanpa bisa bertemu langsung. Kala itu, awan di angkasa kelabu, aku berdiri di depan balkon kelas yang terletak di lantai dua. Pemandangan bawah hanya bagian teras kantor guru dan laboratorium biologi. Aku masih terus menunggunya setiap istirahat. Tanpa absen. Padahal waktu itu sudah jamannya selesai UNAS. Wajar saja jika DIA jarang ke sekolah. Tapi hari itu.... aku mendengar kabar bahwa akan dilakukan pembagian SKHUN, maka aku yakin DIA pasti ada.

Mataku masih berputar dan radar canggih kunyalakan untuk mendeteksi setiap orang yang lewat. Hingga kacamata itu muncul. Caranya berjalan, tas yang biasa ia kenakan, kacamatanya, semua masih seperti terakhir kulihat. Rambutnya yang tebal menyembul diantara kerumunan teman-temannya. Seketika aku langsung tahu, bahwa itu memang DIA.

Kata orang, "Cowok itu sadar kalo lagi diperhatiin." Is it true? Karena mataku terus memandangnya dari ujung timur hingga DIA memasuki ruang guru. Bahkan hingga DIA keluar lagi. Ketika itu aku tahu, mungkin momen ini tak akan pernah terjadi lagi di masa depan. Momen langka yang mungkin hanya otakku saja yang mampu mengulangnya lagi. Kuperhatikan dia dengan saksama sembari hati ini mulai melantunkan kata-katanya, "Selamat atas kelulusanmu. Sampai jumpa lagi.... suatu saat nanti."
Lalu apakah dia sadar???

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kedua Ratus Dua Puluh: Cinta?

 Sudah berapa ratus purnama aku tidak berkeluh kesah soal cinta di sini? Hahaha. Mengingat umur yang sudah tidak lagi muda membuatku canggung jika bicara soal cinta. Yah.. I am at late 20s and if I still speak about shallow love, people will laugh at me. It is not the right time aja rasanya. But around a month or less, may be, suddenly I think about him again. Who is him? He is not somebody that I have ever talked about him earlier. He definitely does not ever appear in my blog but I always talk about him in twitter. So some of you (if you still read my story here), may be will know who he is. Someone who I called as "Anak Pak Rete". Mungkin karena dia laki-laki terakhir yang berhasil menyentuh sisi lain hatiku, ketika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengabaikan soal perasaan ke lawan jenis. Tapi perilakunya membuat pertahananku seketika runtuh dan hancur. Di saat yang sama, dia tiba-tiba menjauh. Entah karena aku yang sempat salah merespon chatnya, atau memang dia sadar

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me

Salahmu Sendiri

Rasanya seperti sudah terlalu lama berlari. Entah ini bisa disebut dengan berlari atau hanya jalan santai. But I tried. I tried a lot of things. But may be not that many juga sih. Banyak hal yang ujung-ujungnya diisi dengan sebuah ucapan, "salahmu sendiri sih". Mungkin aku tidak berlari sekuat yang lain, mungkin aku tidak berjuang sekeras yang lain, dan mungkin memang usahaku tidak pernah sebanding dengan yang lain. Jadi mengapa harus terus dibandingkan? Justru itu. Justru karena aku paham dengan konsep bahwa kesuksesan & kebahagiaan setiap manusia pasti selalu diliputi pengorbanan yang besar, membuatku terus menerus menekan diri sendiri. Merasa semua salah letaknya di diri ini. Tidak ada yang bisa dimaki kecuali diri sendiri. Dan perlahan semuanya terasa sesak. Untungnya masih ada beberapa tangan yang bisa diraih meski hanya sebentar. Lalu aku bisa kembali tersenyum barang sejenak dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dari semua perjalanan yang kualami, insecure menjad