Jam tanganku meunjukkan pukul 11.32 siang. Jalanan yang bergelombang membuat dudukku semakin tak nyaman. Di sampingku duduk Pakdhe sekaligus supir dalam perjalanan kali ini. Awalnya kami berempat, hanya saja kakak dan ibuku harus menetap di Rembang beberapa saat. Tentu saja karena itu hanya tinggal aku dan Pakdhe yang pulang ke Jogja.
Tanganku masih pegal karena salah tidur semalam,
"Din, daerah sini rawan banget sama cegatan polisi. Jangan sembarangan nyelip!" ucap Pakdhe memperingatkan.
"Oh yayaya." sambil mengangguk.
Kukira dengan kalimatnya itu Pakdhe sadar betapa rawannya tempat ini. Hingga tiba-tiba sebuah bus besar menyelip kami dengan kecepatan tinggi. Aku hanya melongo melihat bus itu. Pakdhe yang tiba-tiba merasa ditantang juga menancapkan gasnya dan menyelip truk-truk di depannya. Aku yang masih terngiang ucapannya hanya diam dan melongo. Otakku beku dan takut karena kecepatan yang begitu ekstrim.
Belum ada lima menit setelah kejadian menyalip itu, seorang polisi merentangkan tangannya dan mengarahkan kami untuk belok ke kiri. Melihat situasi yang demikian, jantungku mulai berdegup kencang. Wajahku nyaris pucat melihat polisi tersebut. Melihat gelagat si polisi yang mengarahkan kami, Pakdhe tak tinggal diam. Tepat setelah mobil berbelok sempurna, Pakdhe segera tancap gas dan meninggalkan polisi yang tadi mengarahkannya.
Tanganku gemetar dan kakiku kaku, aku kembali memeluk bonekaku dengan erat. Tiba-tiba dari belakang terlihat sebuah motor dengan lampu berkelap-kelip mengejar kami dengan kecepatan tinggi. Pakdhe kembali menginjakkan gas hingga maksimum. Tak lama kami menemui sebuah pertigaan, reflek aku berteriak, "Kanan!!!!!!". Pakdhe segera berbelok dan kembali melajukan mobil dengan kecepatan supernya. Kejadian ala fast furious kini aku alami. Akan sangat menyenangkan jika jalan itu halus, hanya saja jalan ini adalah jalan kampung. Semua hanya batu, batu, dan batu. Bahkan ada batu sebesar tiga kepalan tangan yang nyaris saja kami injak. Dalam keadaan mobil yang terus bergejolak kasar karena jalan berbatu, Pakdhe tidak mengurangi kecepatannya.
Wajahku sudah mulai mual, bahkan Pakdhe terus-terusan meringis menahan hajat kecilnya. Bukan kami ingin kabur dari masalah, hanya saja kenapa bus dan truk yang menyelip mobil tidak mereka tilang? Sedangkan mobil-mobil penumpang mereka cegat seenaknya. Pakdhe juga bilang, kalau mau bebas minimal membayar "uang panas" sebesar Rp 100.000. Seratu ribu men!!!! Itu saja untuk satu mobil, kalau mereka mendapat sepuluh mobil yang lalai? SATU JUTA brayyy!!!!! Satu juta uang panas buat makan anak-istri??? Kagak berkah kalii!!!! Jadi, daripada kita membuat anak-istri Pak Polisi itu berdosa dan tidak sehat, lebih baik kami berlari sejauh mungkin.
Kembali ke perjalanan kami. Melewati jalan berbatu yang super panjang, kami berusaha menjauh dari kejaran polisi tersebut. Alhamdulillah, tiba-tiba sebuah pick up muncul di belakang kami. Tak lama setelah itu, kami lihat polisi tersebut sudah tidak mengejar kami lagi. Setelah melalui jalan berkelok-kelok tak lama kami kembali ke jalan besar. Kami bebas dari Pak Polisi!!!!! Perjalanan pun berlanjut.
That's an EPIC Touring with Pakdhe hahahhahahahaha
Komentar
Posting Komentar