Langsung ke konten utama

Jam Dinding dan Kotak Hitam

Ketika kotak itu hanya diam saja di ujung ruang ini. Jam dinding memerhatikannya dengan penuh tanya. "Siapa kah gerangan dia? Sedang apa dia? Bagaimana dia bisa di sini?" Dalam lamunannya jam dinding itu terus bertanya dan bertanya. Sedang si kotak hitam hanya diam dan menatap ke arah lain. Entah hidup entah mati.

Hari semakin berlalu, kotak hitam itu masih kokoh berdiri di tempatnya. Tak pernah berpindah apalagi menengok. Si jam dinding semakin penasaran sekaligus khawatir dengan kotak itu. Tepat ketika jarum panjang menunjuk angka dua belas, didentangkannya bell penanda waktu dengan sekuat tenaga. Digoyangkannya bell itu dengan penuh kekuatan. Berharap si kotak hitam akan bergerak, berharap agar kotak itu menengok. Lalu menatapnya, lalu melihatnya....

Meskipun bellnya sudah berbunyi dua belas kali. Meskipun kekuatannya nyaris habis karena menggerakkan bell itu, tetap saja si kotak hanya diam. Jam dinding kembali termenung. Berpikir bagaimana caranya agar si kotak melihatnya. Hingga sesuatu terbesit dipikiran jam dinding, "Apa yang aku pikirkan selama ini? Kenapa aku harus membuatnya melihatku? Kenapa aku harus bersusah payah membuatnya bergerak?" Pertanyaan yang seharusnya sudah ada sejak lalu. Agar jam dinding tak perlu berusaha membuat si kotak hitam bergerak. Agar jam dinding tidak perlu menguras habis tenaganya hanya demi si kotak hitam.

Untuk apa jam dinding membunyikan bell sangat keras? Kalau saja sebenarnya si kotak hitam hanya benda mati diujung ruang. Bahkan jam dinding juga hanya benda mati di sudut tembok. Berbunyi namun tak bernyawa, tak berasa. Sama seperti si kotak hitam. Tak hidup. Bahkan tak berbunyi. 

Karena ketika jam dinding mulai menyadari perasaannya, maka Tuhan akan tertawa dengan sikapnya yang terlalu konyol. Karena mereka hanya benda mati. BENDA MATI!!! TAK BERNYAWA!! TAK BERASA!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me...

Menghitung Bintang

Seperti kembali menghitung ribuan bintang di langit. Lupa sudah berapa banyak bintang yang terhitung. Akhirnya kembali menghitung semua bintang itu dari awal. Masih sama seperti dulu, ketika mulut tak mampu berbicara, mata hanya mampu memandang, dan hati hanya terus berharap dalam diam. Ketika semua sudah terjadi dan terlanjur, mungkin tertawa hambar bisa jadi penghibur lara meski hanya sesaat.  Adakah kantung besar untuk menampung semua bintang-bintang yang sudah kuhitung? Agar aku tak perlu lelah untuk kembali menghitungnya dari awal ketika aku lupa. Karena dengan begitu, ketika ada orang bertanya, "Berapa banyak bintang yang sudah kau hitung?" Aku akan dengan yakin menjawab, "Sudah banyak." Karena kantung yang kukumpulkan juga sudah banyak, bahkan sangat banyak. Terlalu banyak sudah bintang yang kuhitung. Entah sudah berapa banyak juga aku mengulang hitungan tersebut. Sekali lagi, aku hanya butuh kantung untuk bintang-bintangku. Mungkin jika memang ada k...

Tentang Negeri Sejuta Mimpi #edisi17an

Assalamualaikum :D Dirgahayu Indonesia yang ke-69!!!! Meski sudah 69 tahun, semoga semangat kita tetap seperti layaknya pejuang '45 yaaa :) Amiin. Entah mengapa, gara-gara film Adriana yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta, aku jadi jatuh cinta sama genre novel baru. Fiction History . Sebuah genre yang menggabungkan kisah fiksi dengan kenyataan sejarah yang terjadi. Akibatnya pula, aku jadi bela-belain beli novel Adriana yang asli. Bahkan covernya pun masih yang cetakan 2010.  Pelan-pelan aku baca kisah itu. Aku coba pelajari sejarah ibu kota yang terangkum secara jelas di novel itu. Alhamdulillah...novel itu sukses membuka rasa nasionalisku. Meski tak sepenuhnya, tapi kini aku sadar ternyata nasionalisme itu sangat penting bagi pelajar sepertiku. Bahkan bagian yang paling seru dalam novel tersebut aku baca tepat saat malam tirakatan. Secara aku bukan warga yang baik, aku memilih berkeliling Jogja dan membaca novel ketimbang duduk bersila mendengarkan pidat...