Langsung ke konten utama

Percakapanku dengan Tuhan

Senin, 15 Desember 2014 19:20

Udara malam masuk melalui ventilasi jendela kamarku. Dingin ini membuatku terdiam. Masih dalam mukenaku, aku hanya duduk menghadap barat. Aku ragu untuk mulai berkata. Hanya saja ini penting untuk disampaikan, aku pun mulai membuka mulutku....

Aku : Ehhmm..... permisi. Maaf aku mengganggu lagi. Hanya saja, aku kembali menemui beberapa kebimbangan. Mungkin saja Engkau bisa membantuku meringankan. Cukup dengarkan, tak usah Kau jawab.

Dia : . . . (sunyi)

Aku : Entah mengapa perasaanku jadi kacau seperti ini. Bukankah seharusnya ketika seseorang memberi semangat kepadamu justru kita akan merasa bersemangat? Seharusnya kita lebih berusaha untuk melakukan suatu hal dengan sangat maksimal dari semangat mereka. Tapi aku aneh! Semangat-semangat mereka malah sedikit memberiku beban. Aku seperti harus benar-benar mewujudkan apa yang aku inginkan dari semangat itu. Aku mau... bahkan sangat mau mewujudkannya. Tetapi.... sah-sah sajakan aku memikirkan kemungkinan paling pahit dalam hidupku? Lalu ketika kepahitan itu terjadi lagi, apa yang harus kukatakan pada mereka? Apa yang harus kutebuskan dari semangat-semangat itu? Masalahnya lagi, aku sudah memutuskan untuk melepas apa yang kujalani sekarang demi hal esok itu. Aku seperti berjalan diantara dua jurang. Tersandung sedikit, maka aku akan jatuh telak ke dasar. Hal-hal itu seperti menekanku. Apa aku salah?Ya aku sadar, pikiranku terlalu sempit dan pesimis. Aku hanya takut... takut mengecewakan mereka. Orang-orang yang aku sayangi. Bahkan selalu mendukungku meski kadang keputusanku terlalu berkonsekuensi besar. Terkadang ketika mereka mulai berkata, "Ya sudah. Semangat ya Din :) Semoga kamu bisa mewujudkan apa yang kamu inginkan." Ya Allah.... seperti ada seratus jarum langsung menusuk perasaanku. Bukan dalam arti buruk, lebih tepatnya seperti rentetan jarum ketakutan.Tuh, pesimisku keluar lagi kan. Kadang pula, semangat mereka malah membuatku berpikir, jangan-jangan dalam hati mereka berkata, "Suka-suka kamulah Din. Idup-idupmu, kita sih nyemangatin aja." Oh my God.... kesannya malah kayak aku salah pilih lagi gitu lho. Padahal ya itu cuma su'udzon ku aja. Makanya aku gak habis pikir, ni otak kok pikirannya bisa nyabang kemana-mana dan gak kekontrol gitu.Setan...setan.... jago banget nggodanya! At last.... aku prefer memendam beberapa masalah sendiri. 
Dan hanya Engkau yang tahu segalanya. Karena Engkau, Ya Allah... tempatku berkeluh kesah dari segala hal yang menimpaku. Terima kasih ya Allah... atas segala kesabaranmu mendengarkanku yang terus-menerus meminta dan masih sedikit memberikan yang terbaik bagi-Mu. Tapi aku selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi-Mu dan bagi agama-Mu.

Dia : (Menatapku dalam diam-Nya.)

Aku : (Bersimpuh lalu tertidur dalam balutan mukenaku..... terisak dalam kesendirianku.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me...

Menghitung Bintang

Seperti kembali menghitung ribuan bintang di langit. Lupa sudah berapa banyak bintang yang terhitung. Akhirnya kembali menghitung semua bintang itu dari awal. Masih sama seperti dulu, ketika mulut tak mampu berbicara, mata hanya mampu memandang, dan hati hanya terus berharap dalam diam. Ketika semua sudah terjadi dan terlanjur, mungkin tertawa hambar bisa jadi penghibur lara meski hanya sesaat.  Adakah kantung besar untuk menampung semua bintang-bintang yang sudah kuhitung? Agar aku tak perlu lelah untuk kembali menghitungnya dari awal ketika aku lupa. Karena dengan begitu, ketika ada orang bertanya, "Berapa banyak bintang yang sudah kau hitung?" Aku akan dengan yakin menjawab, "Sudah banyak." Karena kantung yang kukumpulkan juga sudah banyak, bahkan sangat banyak. Terlalu banyak sudah bintang yang kuhitung. Entah sudah berapa banyak juga aku mengulang hitungan tersebut. Sekali lagi, aku hanya butuh kantung untuk bintang-bintangku. Mungkin jika memang ada k...

Tentang Negeri Sejuta Mimpi #edisi17an

Assalamualaikum :D Dirgahayu Indonesia yang ke-69!!!! Meski sudah 69 tahun, semoga semangat kita tetap seperti layaknya pejuang '45 yaaa :) Amiin. Entah mengapa, gara-gara film Adriana yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta, aku jadi jatuh cinta sama genre novel baru. Fiction History . Sebuah genre yang menggabungkan kisah fiksi dengan kenyataan sejarah yang terjadi. Akibatnya pula, aku jadi bela-belain beli novel Adriana yang asli. Bahkan covernya pun masih yang cetakan 2010.  Pelan-pelan aku baca kisah itu. Aku coba pelajari sejarah ibu kota yang terangkum secara jelas di novel itu. Alhamdulillah...novel itu sukses membuka rasa nasionalisku. Meski tak sepenuhnya, tapi kini aku sadar ternyata nasionalisme itu sangat penting bagi pelajar sepertiku. Bahkan bagian yang paling seru dalam novel tersebut aku baca tepat saat malam tirakatan. Secara aku bukan warga yang baik, aku memilih berkeliling Jogja dan membaca novel ketimbang duduk bersila mendengarkan pidat...