Langsung ke konten utama

Finding Me: Prioritas Doa (5)

 "Oii.."

"Eiii. Lama amat gak muncul?"

"Sibuk wkwk."

"Kuliah?"

"Salah satunya haha."

.....

"Blue.. pernah denger prioritas doa?"

"Tuh barusan."

"Issh, maksudnya curhatan orang tentang prioritas doa."

"Belum lah. Mentok aja yang curhat cuma elu doang."

"Sewot amat si Blue kayak lagi pms -.-"

"Lanjut nah. Kenapa emang si prioritas doa?"

"Gimana kalo sebenernya hidupmu itu cuma bisa jalan sesuai prioritas doa? Misal abis lulus sekolah, kamu punya pilihan buat kerja atau lanjut, kamu berdoa ke Tuhan antara dua pilihan itu mana yang terbaik, terserah. Lalu kamu juga minta doa ke orangtua buat milih diantara dua itu, doa orangtua kan sering tuh dijabah, tapi orangtuamu pengen kamu kerja, jadi mereka berdoa biar kamu keterima kerja. Finally, kamu kerja. Jadi jalan hidupmu dilanjutkan dengan bekerja"

"Hm? Bukannya itu mirip sama konsep 'berdoa tu yang spesifik'"

"Mirip. Tapi dalam kasus ini, kalau doa yang kamu minta gak diprioritaskan, kalau orang-orang yang membantu doamu juga tidak memprioritaskan pilihannya, itu gak bakal kejadian. Gak bakal dijabah."

"Anjir, gua masih bingung sumpah 😕"

"Masih pake contoh tadi deh. Kamu udah memprioritaskan doanya mau kerja aja, tapi bagimu doanya gak kuat karena cuma kamu sendiri yang minta. Mintalah kamu ke orangtua buat doain. Sayangnya, di momen itu, ayah kamu lagi sakit. Otomatis ketika berdoa, ibu dan ayahmu memprioritaskan kesehatan diucapan doanya. Sedangkan keinginan kamu untuk bekerja juga tetap diucapkan tapi mungkin jadi doa kesekian. Thats what I mean about praying with priority."

"Agak masuk nih. Terus worst casenya buat elu apa?"

"Yaa tadi, gimana kalo sebenernya jalan hidupku tu cuma bisa ke-play dari prioritas doa yang diucapkan? Bahkan bukan cuma dari diri sendiri tapi juga harus dari orang lain. Kalo doanya cuma dari diri sendiri yaa paling timingnya agak lama aja. Even though, aku tau Tuhan lebih paham soal timing umatnya."

"Gini deh, lu kan pernah baca soal doa yang belum dijabah tu karena kurang ibadah nananina. Kali karena itu lu ngerasa doa-doa lu belum sampe."

"It might be true Blue. Tapi terlalu banyak kondisi yang timingnya selalu pas. Nih ya, waktu bapak keterima kerja lagi setelah 3 tahunan nganggur, di tahun itu mbak Em lolos SBM UGM, dan untuk pertama kalinya aku ngerasa harus mengalah dengan nasib. Waktu itu aku ngebatin, 'wah bapak sama mbak Em udah happy, kayaknya Tuhan gak mungkin ngasih hal menyenangkan lagi. Harus ada yang sedih. And that was me.' Aku dapet nem gak terlalu tinggi dan harus masuk SMA yang agak jauh dari rumah."

"But, you were happy there."

"Yes. I did. Butuh beberapa saat untuk sadar bahwa itu adalah pilihan Tuhan yang tepat buat aku. Meskipun harus diawali dengan kesedihan. Tiap kali aku butuh doa orangtua, ketika aku mau minta ke mereka, tapi di momen yang sama selalu ada hal yang harus diprioritaskan dulu. Entah Bapak atau Ibu sakit, adek kesulitan kuliah, atau Mbak lagi ada masalah. Ujung-ujungnya aku cuma diem. Mendem. berusaha jadi manusia kokoh dan pasang muka 'I am okay. Just solve their problem first.' Lalu ibu akan berdoa sesuai urutan masalahnya. Aku kembali jadi doa yang kesekian dalam tuturnya."

"..."

"Awalnya kupikir itu cuma analisis asal-asalanku aja. Tapi makin kesini kok yaa bener juga. Kali ini pun kejadian lagi. Aku butuh doa mereka, aku mau mereka memprioritaskan doanya untuk kelangsungan kuliahku. Tapi gak bisa. Ada mbak Em dan keluarga kecilnya yang lebih butuh. Aku lagi-lagi diem. Kayaknya salah juga yaa diem. Tapi yakali, cucu pertama Bapak-Ibu lagi agak bermasalah kesehatannya, terus aku dengan entengnya bilang 'Tolong doain aku dulu. Aku juga lagi susah ini.' Apa gak egois banget untuk manusia berumur seperempat abad ini?"

"Makin rumit yaa jalan pikiran lu."

"As always kan. Makanya cuma bisa cerita ke kamu Blue."

"I appreciate it. But I only can hear you. Not help you."

"I know. Its better to tell it rather than keep it."

"Next, udah mau conclusion?"

"Belum. Haha. Sabar. Another case soal prioritas doa. Kadang aku merasa Tuhan gak ngijinin aku buat doa banyak-banyak. Ini sih my personal opinion aja dan mari kita abaikan statemen 'seberapa khusyuk kamu sholat? Seberapa istiqomah kamu menjalankan perintah Tuhan?' Karena aku sadar kalau level iman dan ketakwaan mah masih jauuuuuuh banget. Mungkin itu juga yang jadi penghambat doa-doaku. Cuma ketika aku terus mengulang doaku, prioritasku, lalu ada peristiwa yang mengharuskanku mengubah prioritas doa, entah mengapa doa pengganti itu selalu berhasil. Kemarin saat aku terus berdoa dan merasa yakin dengan kelancaran kuliahku, Ibu kecelakaan. Malam itu seluruh doa yang sudah terulang aku relakan dan kutukar dengan kesembuhan ibu. Aku bilang pada Tuhan, 'Tuhan.. hamba mohon sembuhkan Ibu. Hamba ikhlas jika semua doa hamba sebelumnya, tentang kelancaran kuliah harus diabaikan dahulu. Hamba hanya mau Ibu sembuh dan tidak ada hasil yang buruk.' Besoknya, kesialan kuliahku diawali dengan dosen yang tiba-tiba bad mood dan melimpahkan pertanyaannya kepadaku. Besoknya masih terkena masalah dengan salah presentasi. Selama seminggu kuliahku mendadak kacau total. Namun Tuhan memberikan hasil positif kepada kesehatan Ibu. Ini kah buktinya? Bukti bahwa jalan hidupku memang harus melalui prioritas doa."

"Lu pernah baca kan, kalau berdoa itu harusnya kayak ngayuh sepeda. Terus diulangin sampai elu ama sepeda lu sampe ke tempat tujuan. Kadang di tengah jalan, bisa aja lu ketemu tukang sayur terus kasian. Eh beli deh beberapa dagangannya, terus lu kayuh lagi tu sepeda dengan barang bawaan itu. Terus ketemu pedagang lain dan lu ngelakuin hal yang sama. Sampe akhirnya lu bawa banyak barang, naik sepeda, makin berat kan? Tapi kalo konsep doa gak gitu!! Itu barang ibarat doa-doa yang terus nambah dalam perjalanan. Makin banyak bukan makin berat, tapi bakal makin enteng. Karena lu akan terus menerus minta tanpa kenal waktu ke Tuhan. Lu bakal makin ngerasa gak bisa apa-apa tanpa berdoa. Dan itu yang dinamain BERSERAH. Harusnya gak ada yang lu prioritaskan. Sebut semua doanya tanpa mengorbankan doa yang lain.

"Berasa salah total."

"Emang!!"


-Rumah, 8.10 WIB-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me...

Menghitung Bintang

Seperti kembali menghitung ribuan bintang di langit. Lupa sudah berapa banyak bintang yang terhitung. Akhirnya kembali menghitung semua bintang itu dari awal. Masih sama seperti dulu, ketika mulut tak mampu berbicara, mata hanya mampu memandang, dan hati hanya terus berharap dalam diam. Ketika semua sudah terjadi dan terlanjur, mungkin tertawa hambar bisa jadi penghibur lara meski hanya sesaat.  Adakah kantung besar untuk menampung semua bintang-bintang yang sudah kuhitung? Agar aku tak perlu lelah untuk kembali menghitungnya dari awal ketika aku lupa. Karena dengan begitu, ketika ada orang bertanya, "Berapa banyak bintang yang sudah kau hitung?" Aku akan dengan yakin menjawab, "Sudah banyak." Karena kantung yang kukumpulkan juga sudah banyak, bahkan sangat banyak. Terlalu banyak sudah bintang yang kuhitung. Entah sudah berapa banyak juga aku mengulang hitungan tersebut. Sekali lagi, aku hanya butuh kantung untuk bintang-bintangku. Mungkin jika memang ada k...

Tentang Negeri Sejuta Mimpi #edisi17an

Assalamualaikum :D Dirgahayu Indonesia yang ke-69!!!! Meski sudah 69 tahun, semoga semangat kita tetap seperti layaknya pejuang '45 yaaa :) Amiin. Entah mengapa, gara-gara film Adriana yang pernah tayang di salah satu stasiun TV swasta, aku jadi jatuh cinta sama genre novel baru. Fiction History . Sebuah genre yang menggabungkan kisah fiksi dengan kenyataan sejarah yang terjadi. Akibatnya pula, aku jadi bela-belain beli novel Adriana yang asli. Bahkan covernya pun masih yang cetakan 2010.  Pelan-pelan aku baca kisah itu. Aku coba pelajari sejarah ibu kota yang terangkum secara jelas di novel itu. Alhamdulillah...novel itu sukses membuka rasa nasionalisku. Meski tak sepenuhnya, tapi kini aku sadar ternyata nasionalisme itu sangat penting bagi pelajar sepertiku. Bahkan bagian yang paling seru dalam novel tersebut aku baca tepat saat malam tirakatan. Secara aku bukan warga yang baik, aku memilih berkeliling Jogja dan membaca novel ketimbang duduk bersila mendengarkan pidat...