Langsung ke konten utama

Ocehan Malam Ini

Sebuah tanya kembali muncul. Ketika aku sendiri bingung dengan apa yang kulakukan sekarang. Lagi??? Kenapa seperti ini lagi? Apa ini hanya keadaan yang sedang moody saja atau bagaimana? Berkaca dari yang lalu, di saat aku memilih tikungan yang kurang tepat. Lalu akhirnya aku harus memutar balik, memakan waktu yang lama dan tenaga yang banyak. Sekarang? Sekarang sudah lebih dari separuh jalan kulalui. Mau kembali? Jahat!!! Mau berbelok? Belum ada tikungan yang terlihat di sekitarku. Jalan ini masih lurus dan panjang. Semakin menanjak dan terus menanjak, entah sampai kapan.

Aku lelah...
Dua kata yang sekarang hanya bisa kugumamkan dalam kesendirian.

Apa yang membuatmu di sini?
Tanya itu lagi!!! Kadang aku kesal dengan otakku yang terlalu banyak bekerja. Masih banyak hal yang bisa ia lakukan, bukan malah menjerumuskanku!! Ada rentetan proses pengolahan coklat dan segala jenis zat pewarna yang menunggu untuk diolah dalam otak ini. Tapi ia malah memikirkan hal yang di luar nalar. Sangat mengesalkan!! Jujur saja, dalam keadaan ini hati dan otakku sering tidak bisa diajak kompromi. Satu ke utara dan yang lain ke selatan. Lalu raga harus kemana??? 

Jika saja aku bisa menonaktifkannya sejenak, mungkin sudah kumatikan otak dan hati ini. Lalu membiarkan raga terbaring lemah dalam balutan selimut tua. Menuju keremangan senja, hingga tanpa sadar hari berlalu lalang. Membiarkan segalanya dalam keadaan semula. Menunggu hingga segalanya terasa nyata lagi. Karena tanpa kusadari, diri ini juga butuh motivasi. Bukan terus memotivasi. Jujur.... dibalik segala upaya dan daya, aku butuh sejenak berdiam. Mengamati langit dalam kesunyian... bersama-Mu... bersama kalian.......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kedua Ratus Dua Puluh: Cinta?

 Sudah berapa ratus purnama aku tidak berkeluh kesah soal cinta di sini? Hahaha. Mengingat umur yang sudah tidak lagi muda membuatku canggung jika bicara soal cinta. Yah.. I am at late 20s and if I still speak about shallow love, people will laugh at me. It is not the right time aja rasanya. But around a month or less, may be, suddenly I think about him again. Who is him? He is not somebody that I have ever talked about him earlier. He definitely does not ever appear in my blog but I always talk about him in twitter. So some of you (if you still read my story here), may be will know who he is. Someone who I called as "Anak Pak Rete". Mungkin karena dia laki-laki terakhir yang berhasil menyentuh sisi lain hatiku, ketika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengabaikan soal perasaan ke lawan jenis. Tapi perilakunya membuat pertahananku seketika runtuh dan hancur. Di saat yang sama, dia tiba-tiba menjauh. Entah karena aku yang sempat salah merespon chatnya, atau memang dia sadar

Paus Biru

"Kebanyakan paus berkomunikasi melalui " Nyanyian Paus " dengan frekuensi 10-39 Hz. Namun PAUS BIRU hanya mampu bernyanyi pada frekuensi 52 Hz. Hal ini menunjukkan bahwa tak akan ada paus lain yang bisa mendengar panggilan Si Paus Biru bahkan untuk mengetahui keberadaannya. Begitu pula Si Paus Biru, yang tak akan menyadari bahwa Ia sebenarnya tak SENDIRIAN ." Pernah merasa sepi di tengah keramaian? Merasa sunyi diantara hiruk pikuk? Merasa sendiri diantara orang-orang? Suatu saat aku berada dalam sebuah situasi, di mana aku harus kembali menyesuaikan diri karena itu bukan lingkungan asliku. Mencoba menyamai dengan segala usaha agar aku terlihat sama. Tertawa ketika lucu, menangis ketika sedih, dan mengekspresikan hal lain sesuai kodratnya. Namun pada akhirnya aku kembali tersadar,  aku hanya Si PAUS BIRU. Bernyanyi sendiri dalam frekuensiku. Mencoba memanggil paus lain yang tentu tak akan mendengar nyanyianku. Ketika bertemu hanya saling menatap dan me

Salahmu Sendiri

Rasanya seperti sudah terlalu lama berlari. Entah ini bisa disebut dengan berlari atau hanya jalan santai. But I tried. I tried a lot of things. But may be not that many juga sih. Banyak hal yang ujung-ujungnya diisi dengan sebuah ucapan, "salahmu sendiri sih". Mungkin aku tidak berlari sekuat yang lain, mungkin aku tidak berjuang sekeras yang lain, dan mungkin memang usahaku tidak pernah sebanding dengan yang lain. Jadi mengapa harus terus dibandingkan? Justru itu. Justru karena aku paham dengan konsep bahwa kesuksesan & kebahagiaan setiap manusia pasti selalu diliputi pengorbanan yang besar, membuatku terus menerus menekan diri sendiri. Merasa semua salah letaknya di diri ini. Tidak ada yang bisa dimaki kecuali diri sendiri. Dan perlahan semuanya terasa sesak. Untungnya masih ada beberapa tangan yang bisa diraih meski hanya sebentar. Lalu aku bisa kembali tersenyum barang sejenak dan melanjutkan hidup seperti biasanya. Dari semua perjalanan yang kualami, insecure menjad